Proses Adat Pernikahan Suku Moronene Kawi’a Disahkan Sebagai WBTb Indonesia

BOMBANANEWS.COM- Pemerintah Kabupaten Bombana, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, kembali meperlihatkan hasil kinerjanya dalam upaya pelestarian budaya lokal.

Tahun ini (2025) prosesi adat pernikahan Suku Moronene yang dikenal dengan sebutan Kawi’a secara resmi disahkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Penetapan ini menjadi langkah penting dalam menjaga eksistensi adat dan tradisi masyarakat Moronene agar tetap lestari di tengah arus modernisasi.

Kepala Bidang Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bombana, Irma Safriani, mengungkapkan rasa syukur atas pengakuan tersebut.

“Alhamdulillah, tahun ini dua objek budaya dari Kabupaten Bombana  yaitu Tari Momani dan Kawi’a telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indoensia. Ini merupakan upaya kami untuk menjaga kearifan lokal dan budaya masyarakat Moronene agar terus diwariskan kepada generasi berikutnya,” ujarnya.

Bacaan Lainnya

Dalam naskah usulan yang diajukan kepada Tim Ahli WBTb Indonesia, dijelaskan bahwa masyarakat Moronene memiliki tradisi dan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun sebagai manifestasi dari kehidupan sosial mereka. Salah satu yang paling sakral adalah prosesi pernikahan adat, yang bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan simbol peralihan status sosial serta perwujudan nilai religius, sosial, dan budaya.

Suku Moronene dikenal memiliki beragam adat istiadat yang masih dijunjung tinggi hingga kini. Di antara tradisi tersebut, prosesi pernikahan Kawi’a menjadi salah satu yang paling khas karena sarat akan simbol dan nilai-nilai kehidupan. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Moronene mematuhi hukum adat yang telah diwariskan sejak lama dan menjadi pedoman dalam setiap tahapan upacara pernikahan.

Setiap tahapan dalam prosesi Kawi’a memiliki makna mendalam. Mulai dari Mongapi (peminangan), Mesampora (masa pertunangan), hingga Molangarako (mengantar pengantin ke rumah orang tua laki-laki), seluruhnya dilengkapi dengan benda-benda adat yang memiliki simbol dan filosofi tersendiri. Misalnya, penggunaan daun sirih, pinang, kelapa muda, kain putih, dan kerbau, yang masing-masing melambangkan kesucian, kesuburan, dan keberkahan dalam kehidupan rumah tangga.

Selain itu, adat pernikahan suku Moronene juga berfungsi sebagai pengikat sosial antar keluarga dan komunitas. Prosesi seperti Metiwawa (pengantaran mempelai wanita ke rumah mempelai pria) mempertemukan dua keluarga besar dan menjadi simbol persaudaraan baru. Dalam momen tersebut, seluruh masyarakat turut serta, menunjukkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial yang tinggi.

Adat Kawi’a juga memiliki fungsi edukatif yang kuat. Generasi muda Moronene dilibatkan dalam setiap prosesi sebagai pelayan adat atau saksi, sehingga mereka dapat mempelajari nilai-nilai budaya, tanggung jawab sosial, serta tata kehidupan rumah tangga sejak dini. Hal ini menjadi sarana pewarisan budaya yang efektif dalam mempertahankan identitas suku Moronene.

Secara umum, fungsi sosial dan budaya Kawi’a mencakup empat aspek utama, yakni pelestarian budaya, pendidikan sosial, integrasi masyarakat, dan pengaturan norma sosial. Melalui upacara pernikahan ini, masyarakat diajarkan untuk menghormati sesama, memahami peran dalam keluarga, serta menjaga keseimbangan sosial sesuai adat yang berlaku.

Kekhasan Kawi’a juga terlihat dari berbagai prosesi yang unik, seperti Metiro (mencari jodoh), Mompokontodo (memantapkan lamaran), dan Pinokompe’olo (makan bersama dalam satu piring) yang melambangkan kebersamaan dan keharmonisan. Selain itu, dalam prosesi Tua Mentaa, digunakan berbagai tumbuhan simbolik seperti Olondoro yang bermakna kasih sayang, Kumapu yang melambangkan kesejukan, dan Riri Doule yang melambangkan harapan akan keturunan.

Dalam adat Moronene, mahar atau langa juga memiliki nilai filosofis yang tinggi. Dahulu, jumlah mahar ditentukan berdasarkan strata sosial keluarga, mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa. Mahar tidak hanya berupa uang, tetapi juga benda-benda adat seperti kain putih, gong, kerbau, dan perhiasan emas, yang melambangkan kehormatan dan tanggung jawab mempelai pria terhadap keluarga mempelai wanita.

Tradisi Kawi’a mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai adat dan ajaran Islam. Dalam perkembangan modern, sebagian prosesi adat mengalami penyesuaian dengan tradisi keislaman, misalnya melalui penyederhanaan acara (Rumpantole) dan penetapan mahar sesuai syariat. Hal ini menunjukkan kemampuan masyarakat Moronene dalam menjaga keseimbangan antara adat dan agama.

Dengan disahkannya Kawi’a sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, Pemerintah Kabupaten Bombana berharap masyarakat dapat terus melestarikan tradisi ini. Pengakuan tersebut bukan hanya bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga upaya memperkuat identitas budaya daerah dalam bingkai kebhinekaan nasional.

Warisan budaya seperti Kawi’a menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur masyarakat Moronene masih hidup dan relevan hingga kini. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol kesakralan perkawinan, tetapi juga wujud kebersamaan, gotong royong, serta cinta terhadap budaya bangsa yang patut dijaga oleh seluruh generasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *