Mewuwusoi, Tradisi Moronene Ditetapkan Sebagai WBTB 2023

Pesta Panen Raya Di Desa Hukaea Laea, Kabupaten Bombana yang dihadiri oleh Pj Bupati Bombana Burhanuddin. Foto Istimewa

Rumbia, BombanaNews.com – Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan penduduknya hidup berdampingan dengan beragam budaya dan kearifan lokal yang menjadi pembeda dari suku-suku bangsa yang lain, baik dari pakaian adat, bahasa, makanan bahkan pola hidup. Seperti halnya di Kabupaten Bombana, Dalam adat istiadat Moronene (Suku yang mendiami Wonua Bombana) secara turun temurun masih mewariskan nilai kearifan yang telah dijalani oleh pendahulu dalam bercocok taman.

Yakni, Pesta Panen yang dikenal dengan istilah dalam bahasa Moronene dengan sebutan Mewuwusoi. Mewuwusoi atau Pesta panen baru-baru ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda  (WBTB) oleh  Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2023 yang sebelumnya telah disetujui untuk diusulkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra pada tahun 2022 lalu.

Berdasarkan dokumen formulir penetapan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang diterima dari Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebuayaan Kabupaten Bombana, tradisi Mowuwusoi saat ini masih bertahan dan kerap dilakukan oleh masyarakat di Desa Hukaea Laea Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pelestariannya tradisini ini dilakukan dengan cara memperkenalkan kepada anak cucu kita dalam hal ini generasi muda bahwa acara mewuwusoi adalah acara yang dilakukan oleh orang tua kita terdahulu pada saat Musim Panen Padi, yang dilakukan bersama petuah-petuah kampung dan tokoh adat sebagai tradisi warisan budaya Moronene. Yang dilaksanakan setiap tahunnya sehingga Mewuwusoi (pesta Panen) ini akan dilakukan terus menerus secara berkesinambungan setiap tahunnya sehingga mewuwusoi ini tidak punah di telang waktu, segingga generai muda dapat melakukannya sehigga mewuwusoi ini selalu tetap dilestraikan.

Bacaan Lainnya

Dikutip dalam dokumen formulir tersebut, secara singkat dijelaskan bahwa sejarahnya bahwa dahulu kala di zaman Kerajaan sebelum di kenal dengan kata Mewuwusoi yang dikaukan oleh masyarakat adat adalah setiap hasil penen maka hasil tersebu di bawa ke rumah Raja untuk selanjutnya melepaskan padi dari ikatannya yang disebut Paenkokoo dari hasil panen atau mongkoteu. Setelah itu bersama-sama warga yang berkebun/ladan mengerjakan hasil panen tersebut di rumah Raja dengan pembagian kerja masing-masing anggota kelompok yaitu kelompok melepaskan biji padi pada tangkainya (momporuhi).

Setelah itu, pelepasan biji padi tersebut ada khusus penggorengan dari biji padi tadi, lalu setalah garing matang kemudian di tumbuk oleh keompok khusus baik laki-laki maupun perempuan setelah itu ditapis agar menjadi beras. Setelah itu semua kelokpok untuk memasak baik nasi maupun lauknya setelah sudah masak maka disiapakan untuk disajikan dalam ritual kesyukuran dengan mengucapkan mantra-mantra yang biasa disebut ritual setelah itu makan bersama,yang dipisahkan antara Raja, ata (Budak), Sangkina (yang melayani) dan orang tua yang di tokohkan setelah itu sisa hasil panen yang di kumpul di rumah raja tersbut akan dibagikan dan diliat daritngkat ekonominya.

Dengan berkembangnya zaman maka dengan syukuran ini menjadi adat “Moronene”. Bahwa setiap membuka lahan perkebunan, sampai kepada panen, dan hasilnya untuk menjadi syukuran dari keberhasilan panen tersbut maka disebutlah dengan kata Mewusoi (Kelompok Kecil) dan Mewuwusoi (Kelompok Besar satu kampung). Setelah itu semua kelompok anggota tani tau sawi (pengikut/pendamping) melalui pawang pada (tumpukoo) melakukan ritual atau doa keselamatan bersama-sama yang disebut metotamai (mengobati diri) selama proses Panen.

Ritual Mowuwusoi merupakan ungkapan kegembiraan dan rasa syukur akan keberhasilan panen musim tanam padatahun tersebut yang dilakukan secara rutin setiap tahunnya.

Adapun proses pelaksanaan ritual mowwusoi terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Tahap persiapannya adalah mengadakan rapat di rumah ketua adat, yang diikuti oleh tomnpuro ‘o, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat setempat yang ada di desa Hukaea Laea, untuk memusyawarahkan proses pelaksanaan ritual mowuwusoi itu seperti apa, menyiapkan alat-alat yang digunakan dalam proses pelaksaan ritual mowwusoi seperti, kampiri, pae, alu, lesng, nyiru dan gong.

Adapun proses pelaksanaan ritual mowuwusoi yaitu

  1. meala pae hai kampiri (mengambil padi di lumbung):
  2. mengkoko pinuai (membagi gabah menjadi ikatan kecil);
  3. medodo (menumbuk padi);
  4. mengayak (menapis);
  5. melonda (memukul lesung dengan irama);
  6. molulo (ungkapan syukur bagi masyarakat Hukaea Laea);
  7. Me ‘a’e (ketua adat akan menyuapi para tamu). Tahap akhir dalam pelaksanaan ritual mowwusoi adalah mototamai atau penyucian diri.

Ritual mowwusoi mengandung fungsi sosial, fungsi hiburan, fungsi religi dan fungsi ekologi. Kepala Bidang Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bombana, Hj. Kamaliah Kadir turut bahagia karena Tradisi Mewuwusoi menjadi kaerifan lokal masyarakat yang lulus dan ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda  (WBTB) oleh  Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2023 mewakili Provinsi Sulawesi Tenggara.

“Alhamdulillah tahun ini WBTB hanya dari Bombana yang lolos diantara Kabupaten lain di Sultra. makanya  tahun ini Bombana yang wakili Sultra dalam penetapan Warisan Budaya Tak Benda  (WBTB) oleh  Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,” Pungkasnya. (Advetorial)

Penulis : HIR

Pos terkait