Refleksi Akhir Tahun: Reset Sistem Politik Indonesia, Perlukah?

Irwansyah, Penggiat Literasi Politik. Desain Gambar : Bombananews

Oleh: Irwansyah (Pegiat Literasi Politik)

Tahun 2025 hampir usai, namun rasanya kita hanya baru saja menyelesaikan satu musim dari serial drama yang sama, pemainnya berganti, tapi naskahnya tetap penuh lubang. Kita dipaksa menyaksikan panggung politik yang bergerak menjauh dari kepentingan rakyat. Setiap tahun kita hanya meratapi lubang yang sama.

Keresahan tersebut bukanlah tanpa alasan jika kita melihat kembali rangkaian fakta pahit yang terjadi sepanjang tahun ini. Kilas baliknya sangat nyata, awal tahun dibuka dengan skandal korupsi pejabat kelas kakap yang jumlah kerugiannya sudah di luar nalar.

Lalu muncul pembahasan revisi UU strategis yang dilakukan diam-diam di hotel mewah, menjadikan suara publik cuma dekorasi. Protes muncul, isu nepotisme mencuat, dan tarik-ulur anggaran negara menjadi tontonan absurd para elite. Puncaknya, drama tunjangan DPR memicu gelombang demonstrasi nasional yang menuntut pertanggungjawaban fundamental dari penyelenggara negara.

Tidak cukup sampai di situ, menjelang akhir tahun, bencana beruntun di Aceh, Sumut, dan Sumbar menelanjangi kegagalan yang jauh lebih fundamental, negara bahkan belum mampu menjalankan tugas paling dasarnya. Perlindungan warga dari bencana, yang sebenarnya bisa diminimalisasi dengan tata ruang dan mitigasi yang baik, kini terasa seperti hal yang mahal. Kasus banjir dan longsor di wilayah padat industri atau tambang seringkali berakar pada izin tata ruang yang diperjualbelikan di hulu.

Fenomena ini membuktikan bahwa prioritas ekonomi dan transaksional selalu mengalahkan keselamatan jiwa dan lingkungan. Semua riwayat kegagalan ini terangkum dalam satu tahun. Tapi jujur, tidak ada yang baru. Kita hanya menonton season baru dari serial yang sama. Pemain berganti, alur dipoles, tapi esensi masalahnya tetap sama, kekuasaan yang belum sepenuhnya bekerja untuk publik.

Di titik ini, sebuah pertanyaan seharusnya menuntut jawaban jelas, Jika masalahnya hanya oknum, mengapa polanya selalu konsisten, bahkan setelah oknum-oknum tersebut ditangkap dan dihukum?

Ini bukan pesimisme. Ini adalah suara publik yang lelah melihat kerusakan ini berjalan tanpa rem. Fakta menunjukkan polanya stabil. Setiap kali kita menyalahkan dan mengganti individu, kita kembali ke lubang yang sama. Individunya berganti, namun sistemnya tetap utuh. Dan sistem yang tidak berubah akan terus menghasilkan kegagalan yang sama.

Politik Transaksional Akar Masalah
Indonesia, sayangnya, masih berjalan di orbit sistem politik kapitalisme yang sarat akan transaksional politik yang memperlakukan kekuasaan seperti komoditas bernilai jual tinggi. Untuk menjadi anggota legislatif atau kepala daerah, biaya yang dikeluarkan tidak hanya miliaran, tetapi seringkali melebihi nilai aset pribadi. Ongkos politik yang mahal ini menjadi pintu masuk utama bagi segala bentuk kerusakan.

Mengapa? Karena saat jabatan punya biaya, seorang pejabat baru otomatis terbebani tanggung jawab ganda. Pertama, kepada konstituen (yang sifatnya normatif). Kedua, dan yang paling mendesak, kepada sponsor dan pemilik modal yang telah mendanai kampanye. Kebijakan pun punya harga. Legislasi bisa dinego di belakang layar untuk memuluskan proyek tertentu. Infrastruktur publik bisa diarahkan sesuai kepentingan pemodal, bukan kebutuhan rakyat. Demokrasi idealnya melahirkan pemimpin yang mewakili rakyat, tetapi ongkos politik yang mahal membuat kekuasaan otomatis condong ke arah pemilik modal. Sehingga, negara tidak lagi jadi pelayan, tapi berpotensi besar menjadi mediator kepentingan antara pasar dan rakyat.

Dalam struktur seperti ini, idealisme hanya bertahan sampai di depan pintu kekuasaan. Setelah itu, realitas menagih, sponsor harus dipuaskan dengan proyek dan konsesi, jaringan harus dibalas, dan uang harus diputar kembali untuk persiapan pemilihan berikutnya.

Akuntabilitas merosot jadi jargon, transparansi mengecil jadi formalitas. Hukum lentur seperti karet, bisa meregang untuk yang berkuasa dan kaku untuk rakyat kecil. Anggaran geser sana-sini melalui modus mark-up atau proyek kosmetik. Opini publik pun dikelola oleh buzzer seperti kampanye produk agar publik tetap terhibur dan lupa pada masalah struktural. Hasil akhirnya sederhana, publik cuma kebagian residu kebijakan.

Dari semua fakta yang kita lihat, timbul satu pertanyaan yang patut direnungkan, Sistem ini masih layakkah untuk dipertahankan? Jawabannya tidak bisa ditutup-tutupi. Masalah kita bukan hanya pada pemimpin yang masih jauh dari kata amanah, tapi juga pada sistem yang rusak yang telah lama mengatur kehidupan kita.

Melirik Syariah sebagai Barometer Politik
Jika sistem yang berorientasi pada modal dan transaksional ini adalah akar masalahnya, maka solusi tidak mungkin datang dari perbaikan kosmetik belaka. Kita memerlukan bingkai nilai yang sepenuhnya berbeda, yang menempatkan kepentingan publik dan keadilan ilahiah di atas kepentingan materi.

Di titik kritis ini, perspektif Islam menawarkan alternatif yang lebih fundamental dan lurus. Yang ditawarkan adalah seperangkat prinsip tata kelola yang operasional dan teruji, yang pernah menopang peradaban panjang dalam mengelola masyarakat multietnis dan multikultural secara stabil dan adil.

Prinsip-prinsip ini bekerja dengan membongkar masalah dari hulunya: cara kekuasaan dipahami, didistribusikan, dan dipertanggungjawabkan. Tanpa mengubah fondasi ini, keadilan hanya akan jadi slogan. Dari sinilah reformasi dimulai.
Pertama, kekuasaan adalah amanah, bukan komoditas. Prinsip ini memutus mahar politik dan ketergantungan pada modal sejak awal. Tidak ada “balas jasa” kepada sponsor atau pemilik dana. Pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas dan rekam jejak integritas, yang diverifikasi secara ketat. Ketika ruang transaksi ditutup di hulu, kebijakan publik lahir lebih jernih, bebas dari utang politik dan kepentingan tersembunyi.

Namun, kekuasaan yang bersih di awal tidak cukup jika tidak diawasi secara tegas di tengah jalan. Di sinilah pilar kedua menjadi penopang utama.

Kedua, hukum berdiri tanpa pandang bulu. Sistem Islam menempatkan pengadilan sebagai institusi independen yang tidak bisa disentuh eksekutif, kekayaan, maupun tekanan politik. Pejabat tinggi dan rakyat biasa setara di hadapan hukum. Ketika status dan koneksi kehilangan daya lindung, korupsi kehilangan tempat bersembunyi. Efek jeranya nyata, karena yang berbicara hanya bukti dan keadilan, bukan jabatan atau relasi.

Tetapi keadilan hukum saja tidak otomatis menjamin kesejahteraan. Negara yang hanya menghukum tanpa hadir melayani tetap gagal memenuhi mandatnya. Maka pilar ketiga menjadi penentu arah keberpihakan negara.

Ketiga, negara wajib hadir penuh (ri’ayah). Prinsip ri’ayah menegaskan bahwa negara adalah pelayan publik utama, bukan operator bisnis atau broker kepentingan. Urusan vital tata ruang yang lestari, pengelolaan sumber daya strategis (tambang, air, energi), pangan, pendidikan, dan kesehatan adalah kewajiban mutlak negara. Melalui Baitul Mal, anggaran diarahkan untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh, bukan proyek kosmetik yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Model ini pernah bekerja berabad-abad karena fondasinya konsisten, kekuasaan tidak dijual, hukum tidak bisa dibeli, dan rakyat tidak dibiarkan tenggelam.

Masalah Indonesia hari ini bukan kekurangan orang baik. Orang baik banyak. Tetapi orang baik yang dimasukkan ke dalam sistem yang salah akan cepat patah, tersandera, atau habis dimakan arus. Persoalannya bukan moral individu, melainkan struktur yang sejak awal menelan prinsip dan idealisme mereka.

Akhir tahun ini, refleksi kita tidak boleh berhenti pada pergantian aktor. Saatnya menilai ulang panggungnya politiknya.

  • Politik yang mahal pasti melahirkan politik transaksional.
  • Hukum yang bisa diintervensi pasti melahirkan ketidakadilan.
  • Negara yang tidak melakukan pencegahan di awal hanya akan kewalahan mengatasi dampak di akhir.

Penutup

Selama tulang punggungnya tetap bersandar pada sistem politik kapitalisme, Indonesia akan terus memproduksi masalah dengan pola yang sama, hanya diganti wajah-wajah baru.

Tidak heran kalau semakin banyak orang mulai mencari arah lain. Bukan untuk mundur ke masa lalu, tapi untuk mengambil prinsip terbaik yang pernah menjaga peradaban, kekuasaan sebagai amanah, hukum sebagai penjaga, dan negara sebagai pelayan rakyat.

Akhir tahun memberi dua hal, evaluasi dan arah. Evaluasi memberi cermin. Arah memberi pilihan. Dan kalau kita jujur, arah itu tidak akan datang dari sistem yang telah berkali-kali gagal memperbaiki dirinya sendiri.

Pada akhirnya, pilihan kita sangat sederhana, terus berjalan di dalam sistem yang cacat, menerima kegagalan berulang, atau berani melakukan reset fundamental dan menata ulang fondasi jalannya. Inilah pertanyaan kritis yang harus kita bawa memasuki tahun baru, sebelum episode lama diputar ulang lagi dengan wajah dan aktor yang berbeda.