Anomali Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Muh. Faad Hidayatullah (Ketua Umum Jaringan Mahasiswa Nasional)

Penulis : Muh. Faad Hidayatullah (Ketua Umum Jaringan Mahasiswa Nasional)

Pengangkatan Penjabat (Pj) kepala daerah di berbagai wilayah Indonesia kian menarik perhatian publik dan menjadi isu yang cukup relevan untuk dibahas. Pasalnya, banyak kemudian polemik yang timbul baik secara hukum maupun secara sosial-politik akibat pengangkatan Penjabat kepala daerah.

Menurut data Kompas, pada tahun 2023 ini ada 170 daerah yang akan dan telah diisi oleh Penjabat kepala daerah yang terbagi atas 17 Provinsi, 115 Kabupaten dan 38 Kota. Sedangkan pada tahun 2022 lalu, jumlah Penjabat kepala daerah yang dilantik adalah sebanyak 101 orang yang tersebar di 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota.

Secara sederhana, pengangkatan Penjabat kepala daerah di berbagai wilayah dapat kita bagi atas dua alasan. Pertama, karena masa jabatan kepala daerah sebelumnya memang telah berakhir. Kedua, hal tersebut merupakan bagian dari desain keserentakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar pada 27 November 2024 mendatang.

Kondisi ini tentu memaksa setiap daerah harus diisi oleh Penjabat kepala daerah sampai adanya kepala daerah definitif yang lahir melalui kontestasi Pilkada. Kekosongan posisi kepala daerah definitif tersebut tidak dapat kita lepaskan dari implikasi-implikasinya, baik secara hukum maupun sosial-politiknya.

Mengabaikan Prinsip Demokrasi

Menurut ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Sebagai alas hukum, pemilihan kepala daerah secara demokratis tersebut diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan perundangan-undangan, seperti :

1. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, UU Nomor 1 Tahun 2015 tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-undang;

4. UU Nomor 8 Tahun 2015 perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang;

4. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-undang.

Frasa “demokratis” yang terselip dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut kemudian diterjemahkan dalam UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, bahwa pengisian kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada). Nah, jika kita cermati praktik pengangkatan 271 Penjabat kepala daerah sejak tahun 2022 hingga saat ini, tentu hal tersebut bertentangan dengan prinsip “demokratis”. Sebab, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menghendaki adanya pemilihan secara langsung melalui Pilkada bukan melalui pengangkatan Penjabat kepala daerah. Untuk itu, terjemahan Pasal 18 ayat (4) tersebut harusnya mempertimbangkan sisi demokratis dengan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setelah masa jabatan kepala daerah definitif berakhir tanpa harus melalui pengangkatan Penjabat kepala daerah. Sehingga lahir kepala daerah yang memiliki legitimasi kuat melalui kontestasi Pilkada.

Transparansi dan Akuntabilitas

Setiap daerah memang diberikan kewenangan dalam mengusulkan figur-figur yang dianggap memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Wali Kota. Pada Pasal (4) disebutkan bahwa Pengusulan Pj. Gubernur dilakukan oleh Menteri dan DPRD Provinsi melalui Ketua DPRD Provinsi. Kemudian pada Pasal (9) disebutkan bahwa pengusulan Pj. Bupati dan Pj. Wali Kota dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan DPRD melalui Ketua DPRD Kabupaten/Kota. Akan tetapi, masih terdapat sisi subjektif dimana Menteri memilih dan menyampaikan 3 (tiga) figur bakal calon Penjabat kepala daerah kepada Presiden yang dianggap memenuhi syarat. Aspek transparasi dan akuntabilitas pemilihan figur oleh Menteri itulah yang menjadi permasalahannya.

Sebab, meskipun Gubernur dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mengusulkan 3 nama, namun pada praktiknya penunjukan dan pengangkatan Penjabat kepala daerah masih di dominasi oleh kewenangan Menteri yang secara inhern dapat mengabaikan pengusulan dari daerah. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian bagi semua pihak dalam rangka mendorong dan menciptakan transparansi dan akuntabilitas pada seleksi Pj. kepala daerah.

Indikator Penilaian

Indikator penilaian pengangkatan Penjabat kepala daerah juga harus memasukkan aspek lokalitas kedaerahan. Pemahaman seorang figur calon Penjabat kepala daerah yang mengerti persoalan sosio-historis kedaerahan adalah poin penting yang mesti dipertimbangkan. Mengingat, Penjabat kepala daerah yang akan mengisi tampuk kepemimpinan di daerah haruslah figur yang memahami realitas politik dan kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat, sehingga aspirasi isu-isu kedaerahan dapat sejalan dengan misi pembangunan daerah. Disamping itu, faktor penerimaan publik secara mayoritas terhadap figur calon Penjabat kepala daerah juga patut kita perhatikan agar tidak terjadi bias dan konflik kepentingan pada kelompok-kelompok yang ada.

Selain pertimbangan administratif dan teknis, seorang Pj. kepala daerah dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan politik haruslah bersikap netral. Kendati seorang Pj. kepala daerah berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus memegang teguh prinsip kenetralan, namun tarik-menarik kepentingan di level bawah antara dominasi kelompok mayoritas dan minoritas, selalu memantik keraguan didalamnya.

Sebuah Anomali

Realitas demokrasi politik kita memang tidaklah sempurna. Tentu ada upaya perbaikan dari tahun ke tahun yang dilakukan oleh penyelenggara negara, namun hal ini tidak terlalu memberikan signifikansi yang cukup sebagai asupan demokrasi. Inilah anomali demokrasi politik kita hari ini.

Proses seleksi dan nominasi Penjabat kepala daerah yang tidak transparan dan akuntabel tentu menarik sisi gelap yang berbahaya bagi alam demokrasi. Bayang-bayang kepentingan elite dengan misi politik tertentu adalah pintu masuk menuju kamar gelap demokrasi. Sebab, selain mengabaikan hal-hal yang bersifat prinsipil, hal ini juga memicu adanya transaksi politik yang tidak sehat. Implikasi transaksi politik sudah pasti menggugurkan figur-figur yang berkompeten dan memenuhi syarat. Disamping ada juga proses nominasi yang tidak objektif.

Pengangkatan Pj. kepala daerah pada masa transisi menuju agenda Pemilu dan Pilkada adalah konfigurasi politik yang tidak tepat. Sebab, selalu ada misi kepentingan tertentu yang menghantui ruang seleksi pengangkatan Pj. kepala daerah. Kita tentu tidak bisa menafikan bahwa ada figur yang memang membawa misi pengabdian sebagai Pj. kepala daerah. Namun, lagi-lagi, desain pengangkatan Pj. kepala daerah bukanlah solusi terbaik untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Karena tidak adanya keterlibatan dan partisipasi publik dalam memilih figur yang mereka kehendaki, delegitimasi suara mayoritas publik, dan juga adanya keterbatasan penjabat eksekutif daerah dalam mengeksekusi keputusan yang bersifat strategis dalam aspek pembangunan, personil serta kebijakan strategis lainnya.